PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
era globalisasi dan majunya teknologi seperti saat ini membuat banyak generasi
muda yang tidak gemar membaca mereka hanya mengandalkan yang instan-instan saja
seperti selalu browsing ketika medapatkan tugas dari guru dan hanya mengadalkan
guru dan diskusi kelas untuk belajarnya. Karena dikhawatirkanya ajaran yang
salah dalam kebiasaan ini maka saya membuat laporan hasil bacaan ini agar para
generasi muda gemar membaca dan dapat memahami isi pokok bacaan sesuai degan
sumbernya.
B.
Tujuan
Tujuan
dari membuat laporan hasil bacaan ini adalah supaya saya bisa memahami isi
pokok dari setiap bab dan bisa mengerti ajaran apa yang terkandung pada setiap
bab agar saya juga bisa mengamalkan ajaran tersebut kepada orang lain dengan
baik yang jelas sumber ajarannya.
C.
Pentingnya Membuat Laporan
Sangat
penting sekali membuat laporan seperti ini karena dengan cara seperti ini saya
tidak akan lupa dan bisa terus mengingat lagi apa saja yang sudah saya baca.
Selain itu, dengan membuat laporan seperti ini, saya menjadi tau inti dan poin
penting dari setiap bab sekaligus dapat mempermudah dalam kegiatan belajar
mengajar.
D.
Manfaat dan Menariknya Membuat Laporan
Manfaat
dari membuat laporan ini adalah kita menjadi pribadi yang mandiri karena kitalah
yang mencari tau sendiri isi pokok yang terkandung pada buku ini. Dan kita juga
tidak hanya mengandalkan apa yang telah kita dapat dari dosen atau dari hasil
diskusi kelas, tapi kita perluas lagi dengan cara meringkas isi pokok dari
setiap bab dan kita membuat menjadi laporan hasil bacaan seperti ini.
ALIRAN-ALIRAN DAN
SEJARAH
BAB I
Sejarah
Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi Dalam Islam
Kematian
khalifah Utsman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh telah
menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam.
Salah satu di antaranya adalah perang Shiffin, 2 tahun setelah Ali ibn Abi
Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan Utsman.
Perang
besar antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya
mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga
melahirkan beberapa aliran pemikiran yang secara ekstrim selalu bertentangan
yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah dan Jabariah. Selain itu ada
beberapa aliran pula yang menentang ajaran-ajaran kaum mu’azilah yaitu
Asy’ariyah dan Maturidiah.
Dengan
demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah, Jabariah, Asy’ariyah dan Maturidiah.
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah dan Jabariah sekarang tidak
mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang
ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran
Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya
kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui
kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern,
maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali terutama dikalangan kaum
intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai
dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.
BAB II
Kaum
Khawarij
Kaum
Khawarij terdiri dari pengikut-pengikut Ali Ibn Talib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali Ibn Talib dalam menerima
arbitrase sebagai jalan untuk menyeleseikan persengketaan tentang khalifah
dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Nama itu diberikan kepada mereka karena mereka
keluar dari barisan Ali.
Kaum Khawarij terpecah belah menjadi beberapa golongan kecil yaitu:
1.
Al-Muhakkimah
Golongan
Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan
Al-Muhakkimah. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga
termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
2.
Al-Azariqah
Golongan
yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah
hancur.
3.
Al-Najdat
Najdah
Ibn Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin
menggabungkan diri dengan golongan Al-Azariqah.
4.
Al-Ajaridah
Mereka
adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘ Ajrad yang menurut Al-Syahrastani
merupakan salah satu teman dari Atiah al-Hanafi.
5.
Al-Sufriah
Pemimpin
golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan
golongan Al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim.
6.
Al-Ibadiah yaitu Golongan yang
paling moderat
dari seluruh golongan Khawarij.
BAB
III
Kaum
Murji’ah
Golongan
ini adalah golongan yang bersikap netral dalam peristiwa arbitrase yang terjadi
antara Ali dan Mu’awiyah. Mereka tidak mau turut dalam praktik
kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golonga Syi’ah yang pro Ali dan Khawarij
yang kontra. Mereka mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau
tidak kafirnya seseorang kepada Tuhan.
Pendapat
mereka adalah orang yang berdosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Pendapat
ini membawa kepada pendapat bahwa yang diutamakan sebenarnya adalah iman,
sedang perbuatan hanya soal kedua.
Berlainan dengan kaum Khawarij yang menekankan kepada
persoalan kufr, kaum ini menekankan kepada siapa orang yang masih mukmin dan
belum keluar dari Islam. Pada umumnya, kaum Murji’ah terbagi atas
dua golongan besar, moderat dan ekstrim.
Golongan
Moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak
kekal di neraka, tetapi akan di hukum di neraka sesuai dengan dosanya. Dalam golongan
moderat ini termasuk Muhammad ‘Ibn Ali, Abu Hanifah, dan beberapa ahli hadist.
Abu Hanifah memberi definisi iman: iman adalah pengakuan tentang Tuhan,
Rasul-Nya dan segala apa yang dating dari Tuhan; iman tidak bertambah atau
berkurang. Kesimpulan dari pendapat Abu Hanifah diatas, yaitu bahwa perbuatan
atau amal kurang penting dibandingkan dengan iman.
Diantara
golongan ekstrim yang dimaksud adalah al-Jahmiah, pengikut Jahm Ibn Safwan.
Menurut mereka, orang Islam yang percaya Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufurannya secara lisan tidaklah kafir, karena iman dan kufr tempatnya adalah
di dalam hati. Ucapan
dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Golongan Murji’ah moderat, sebagai
golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah tetapi ajaran-ajaran
mereka masuk ke dalam Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun Murji’ah ekstrim telah
hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri.
BAB
IV
Qadariah
dan Jabariah
Tuhan
adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama
Qadariah berasal dari pengertian manusia bahwa terpaksa tunduk pada qadar atau
kadar Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menetuikan
kehendak dan perbuatannya. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam
keadaan terpaksa.
Paham yang dibawa Jahm adalah lawan
ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Menurut Jahm, tidak
mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam
perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya.
Perbuatan yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia, tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan tuhan dalam
benda-benda mati. Menurut
paham ekstrim ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Kalau paham fatalisme yang dibawa Jahm seperti diuraikan diatas merupak
fatalisme dalam bentuk ekstrim, al-Syahrastani menyebut paham Jabariah lain
yang bersifat moderat. Paham itu sendiri dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad
al-Najjar. Tuhanlah, kata al-Najjar, yang menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,tetapi manusia mempunyai
bagiandalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu.
Menurut paham ini Tuhan dan manusia
bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan-perbuatannya. Dalam sejarah
teologi Islam, selanjutnya paham Qadariah di anut oleh kaum Mu’tazilah sedang
paham Jabariyah, sungguhpun tidak identik dengan paham yang dibawa Jahm Ibn
Safwan atau dengan paham yang dibawa al-Najjar dan Dirar, terdapat dalam aliran
al-Asy’ariah.
BAB V
Kaum Mu’tazilah
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “ kaum rasionalis Islam.”
Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum
Mu’tazilah berawal dari peristiwa yang terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta
temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada
suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang
berdosa besar. Sebagaimana yang diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir
sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih
berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir,
tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.”
kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat
lain di masjid; di sana ia mengulangai pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini
Hasan al-Basri mengatakan: ” Wasil menjuh diri dari kita (i’tazala’ ana).”
Dengan demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani, disebut kaum
Mu’tazilah.
Kata
Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah”telah dipakai kira-kira
seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti
golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikain politik yang ada di zaman
mereka.
Dari
uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertam membina aliran
Mu’tazilah adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah,
syeikh al-Mu’tazilah wa qadil muha,yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia
lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada
Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah
dan belajar kepada Hasan al-Basri.
Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi
menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral
dari al-Ushul al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga
sila lainnya adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id,janji baik
dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar, memrintahkan
orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau
perlu dengan kekerasan. Adapun tokoh-tokoh lain dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn
Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani, Abu al-Huzail al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar.
Menurut
al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah,
hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah disebut di
atas. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat
dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebai dikemukakan
oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya
kedudukan tiap dasar, sebagai berikut.
Al-Tawhid,
al-’Adl, al-Wa’adwa al-Wa’id, al-Manzilahbain al-Manzilatain dan al-’Amrbi
al-Ma’rufwaalNahy ’an al-Munkar.
Demikianlah
uraian sekedarnya tentang pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah, pendapat-pendapa tmereka
dan ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.
BAB
VI
Ahli
Sunnah dan Jama’ah
Bertentangan
dengan paham qadariah yang dianut kaum
mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan
perbuatan, pemuka-pemuka mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan
ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa al-Qur’an tidak
bersifat qadim, tetapi bahru dan diciptakan.
Kaum mu’tazilah dalam sejarah memang
merupakan golongan minoritas. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping
merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang
teguh pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli sunnah dan
jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas,
sebagai lawan bagi golongan mu’tazilah yang bersifat minoritas dantak kuat
berpegang teguh pada sunnah. Bagaimana
pun yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi
Islam dan dalam kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
2)
. Aliran Maturidiah
Literatur
mengenai ajaran-ajaran Abu mansur dan aliran Muturidiah tidak sebanyak
literatur mengenai ajran-ajaran Asy’ariah. Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi
menolak ajran Mu’tazilah al-salah wa al-aslah, tetapi disamping itu Maturidi
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
Antara kedua pemuka aliran
Maturidiah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam
aliran Maturidiah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut Maturidi sendiri, dan
golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand
mempunyai paham-apaham yang lebih dekat kepda paham mu’tazilah, golongan
Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat
al-Asy’ari.
Aliran
Maturidiah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang banyak
dianut oleh umat Islam yang memakai mahzab Hanafi.
ANALISA DAN
PERBANDINGAN
BAB VII
Akal
dan Wahyu
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadsap Tuhan, meamkai akal
dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal,
sebagai daya berfikir yang ada dalam
diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dab wahyu sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan.
Bagi kaum Mu’tazilah segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban
dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dalam hubungan ini Abu
al-Huzail denagn tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah
berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan,
orang demikian akan mendapat hukuman.
Menurut al-Syahrastani kaum
Mu’tazilah dalam satu pendapat bhawa kewajiban mengetahui dan berterima kasih
kepada Tuhan dan kewajiban mengajarkan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat
diketahui oleh akal. Dari aliran Asy’ariah, al-Asy’ari sendiri menolak bagian
besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala
kewajiban manusia hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
Menurut
al-Baghdadi akal dapt mengetahui Tuhan, tetapi tidak mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanay
melalui wahyu.
Al-Maturidi, bertentangan dengan
pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa
akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan. Dengan
demikian bagi al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedangkan
yang satu lagi itu kewajiban berbuat baik dan mejauhi yang buruk dapat
diektahui hanya melalui wahyu.
Dengan demikian akal menurut paham
golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat
mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban.,
Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat sampai tidak
hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpujinya pengetahuan demikian
tetapi juga kewajiban mengetahui Tuhan.
Dapat kiranya disimpulkan bahwa
Mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal. Maturidiah Samarkand memberikan
daya kurang besar dari Mu’tazilah, tetapi lebih besar daripada Maturidiah
Bukhara. Diantara aliran semua itu, Asy’ariahlah yang memberikan daya terkecil
kepada akal.
BAB
VIII
Fungsi
Wahyu
Pertanyaan
apa tentang perlunya wahyu tentu banyak dihadapka kepada kaum Mu’tazilah.
Sebagaimana telah disinggung di atas dalam system teologi mereka, wahyu tidak
mempunya fungsi apa-apa dalam soal keempat masalah yang menjadi bahan
kotroversi dalam teologi islam.
Bagi
kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan semua yang buruk dapat diketahui
akal. Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan
demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Kiranya dapat
disimpulkan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi, dan
informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa
yang belum dikethui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang
telah diperoleh akal.
Dalam
pandangan kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja,
maka wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian
jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya.
Adapun
aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih
kurang daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu
hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk. Sedangkan dalam
pendapat golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
manusia.
Lebih
tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka
sedangkan manusia dalam pandangan Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang
merdeka. Di dalam aliran Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah
diantara manusia dalam pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah. Dalam pada
itu manusia dalam pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang
Bukhara.
BAB
IX
Free
Will dan Predestination
Kaum
Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya
yang besar lagi bebas, sudah tentu menganut paham qadariah atau free will.
Al-Jubba’i dan ‘Abd al-Jabbar menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Bagi
Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan
manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan
manusia. Tuhan hanya menciptakan daya yang ada dalam diri manusia.
Argumen
kaum Mu’tazilah tentang paham diatas yang dimajukan oleh ‘Abd al-Jabbar
umpamanya, adalah “Manusia berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang
diterimanya, menyatakan terima kasih kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya
itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan,
tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujuan manusia
kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
Aliran
Asy’ariah dalam hal ini lebih dekat ke paham jabariah daripada Mu’tazilah.
Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Berlainan sekali dengan kaum Mu’tazilah, kaum Asy’ariah berpendapat
bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan
perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan
tuhan bukan perbuatan manusia.
Bagi
golongan Maturidiah perbuatan manusia adalah juga diciptakan Tuhan. Mengenai
soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti
bahwa kemauan manusialah yang menentukanpemakaiandaya,
baikuntukkebaikanmaupunkejahatan.
Kebebasan
dan kekuasaan manusia sebenarnya trbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya,
hanyalah memilih hukum
alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena
paham qadariah bisa disalah artikan
mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas sebebas-bebasnya dan dapat malawan
kehendak dan kekuasaan Tuhan
BAB
X
Kekuasaan
dan Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai
akibat dari perbedaan paham yang terdapat pada aliran-aliran teologi Islam
mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia
atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan
dan kehenaak mutlak Tuhan.
Dalam
menjelasakan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al- Asy’ari menulis
dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun, di atas Tuhan tidak
ada suatu zat lain yang dapat membuat hokum dan dapat menentukan apa yang boleh
dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak
dan kekuasaan-Nya.
Berlainan
dengan paham Asy’ariah in, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan
sebenarnya tidak bersifatmutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan
mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah
diberikan kepada manusia dalam menentuka kemauandan perbuatan.
Adapun
kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak. Sedangkan dalam golongan Maturidi Samarkand, tidak sekeras
golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak
pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi
kekuasaan mutlak Tuhan.
BAB
XI
Keadilan
Tuhan
Kaum Mu’tazilah, karena
percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai
tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia.
Mereka berpendapat, manusia yang berakal sempurna, kalau berbuat sesuatu, mesti
mempunyai tujuan. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya,
tetapi perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan mawjud lain, selain Tuhan.
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa tujuan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.
Kaum Asy’ariah, karena
percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi yang sebaliknya.
Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti
sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Tuhan berbuat
semata-matakarena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan lain.
Kaum Maturidiah Bukhara
mempunyai pendapat yang sama dengan Asy’ariah. Menurut Al-Bazdawi alam tidak
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Kaum Maturidiah
Samarkand, karena menganut paham free will dan free act, serta adanya batasan
bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang dekat dengan
Mu’tazilah.
Paham keadilan bagi
kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan.
Keadilan bukanlah hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat salah. Paham
“Tuhan berkewajiban membuat apa yang terbaik bagi manusia” saja mengandung arti
yang luas sekali, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat, dan
sebagainya. Keadilah menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban
itu.
Kaum Asy’ariah
memberikan interpretasi yang berlainan. Keadilan mereka artikan “menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan
pengetahuan pemilik”. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya.
Kaum Maturidiah
golongan Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat kepada posisi kaum Asy’ariah
dalam hubungan ini, sedangkan golongan Samarkand mengambil posisi yang lebih
dekat kepada kaum Mu’tazilah.
BAB XII
Perbuatan-perbuatan
Tuhan
I.
Kewajiban-kewajibanTuhanterhadapManusia
Paham
bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat konsep kaum
Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan. Bagi kaum Asy’ariah, paham Tuhan mempunyai
kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan pahan
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kaum Maturidiah golongan Bukhara sepaham
dengan kaum Asy’ariah tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.
Golongan Samarkand, memberi batasan-batasan kepada kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan dan dengan demikian menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi
Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan
pemberian hukuman.
II.
BerbuatBaikdanTerbaik (Al-salah wa al-aslah)
Term
ini terkenal sebagai term Mu’tazilah, dan yang dimaksud adalah kewajiban Tuhan
berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia.
III.
Beban di Luar Kemampuan Manusia (taklif ma la yutaq)
Mu’tazilah tak dapat menerima paham ini
karena bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Hal ini
juga bertentangan dengan paham keadilan Tuhan menurut pendapat mereka.
Kaum Asy’ariah, karena percaya pada
kekuasaan mutlak tuhan dapat menerima paham ini. Sebagaimana pula kaum
Maturidiah golongan Bukhara.
Sedangkan
kaum Maturidiah golongan Samarkand tidak setuju dengan pendapat Asy’ariah
tentang hal ini, karena al-Qur;an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani
manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipilkul.
IV.
PengirimanRasul-rasul
Bagi
kaum Mu’tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa akal dapat mengetahui hal-hal
tentang alam gaib, pengiriman Rasul-rasul sebenarnya tidak begitu penting.
Pengiriman
Rasul-rasul memiliki arti yang besar bagi kaum Asy’ariah, karena mereka banyak
bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan. Pengiriman wahyu tidak bersifat
wajib, hanya bersifat mungkin. Begitu pula pendapat Maturidiah golongan
Bukhara.
V.
Janji danAncaman
Sebagaimana
diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan
kaum Mu’tazilah. Hal ini erat kaitannya dengan dasar kedua, yaitu keadilan.
Tuhan akan bersifat tidak adil jika Ia tidak menepati janji.
Bagi
kaum Asy’ariah paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka
tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya
kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji
dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan Hadis.
Kaum
Maturidiah golongan Bukhara berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan melanggar
janji-Nya. Sedangkan Maturidiah golongan Samarkand memiliki pendapat yang sama
dengan Mu’tazilah, yaitu bahwa upah dan hukuman Tuhan tak boleh tidak mesti
terjadi kelak.
BAB
XIII
Sifat-sifat
Tuhan
1.
Sifat Tuhan pada Umumnya
Pertentangan
paham antar kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar
sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai
sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti
halnya dengan zat Tuhan. Arti “Tuhan mengetahui” kata Abu Huzail, ialah Tuhan
mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan
sendiri.
Kelihatannya
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang mendorong kaum Asy’ariah
memilih penyelesaian di atas. “Sifat” mengandung arti tetap dan kekal,
sedangkan “Keadaan” mengandung arti berubah.
Kaum Mu’tazilah, karena tidak
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai
batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
2.
Antropomorphisme
Karena Tuhan bersifat immateri,
tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum
Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut paham ini. Kaum
Asy’ariah juga tidak menerima antrhropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia.
Argumen kaum Asy’ariah dalam hal ini agaknya adalah sebagai berikut. Manusia
adalah lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interprestasi jauh tentang
sifat-sifat jasmani Tuhan yang tersebut dalam al-Qur’an sedemikian rupa
sehingga meniadakan sifat-sifat tersebut.
3.
Melihat Tuhan
Logika
mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata
kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah. Sebagai argumen, ‘Abd al-Jabbar,
mengatakan bahwa Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat
dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Kaum
Asy’ariah, sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepala di akhirat nanti.
4.
Sabda Tuhan
Mengenai
sabda Tuhan atau Kalam Allah atau tegasnya al-Qur’an persoalannya dalam teologi
ialah: Kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda
adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal.
BAB XIV
Konsep
Iman
Iman tidak bisa
mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang
sebagai benar. Bagi aliran-aliran ini iman mesti mempunyai arti aktif, karena
manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Oleh karena itu bagi
kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun
belumlah cukup. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah
Tuhan. Menurut Abu al-Huzail bukanlah perintah wajib saja, tetapi juga yang
sunat. Sedangkan menurut al-Jubba’i hanyalah perintah-perintah yang bersifat
wajib saja. Sedangkan menurut al-Nazzam, iman adalah menjauhi dosa-dosa besar.
Bagi kaum Asy’ariah,
dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau amal. Manusai dapat
mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan
menerangkan kepada manusia. Oleh karena itu, iman bagi kaum Asy’ariah adalah
tasdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan.
Kaum Maturidiah
golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dengan kaum Asy’ariah. Tetapi, bagi
Maturidiah Samarkand, iman mestilah
lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan.
Bagaimanapun batasan
iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariah dan aliran
Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran
Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah
atau amal.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas, mulai dari bab kesatu sampai bab keempat belas dapat
disimpulkan bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik dari golongan
Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah semuanya sama-sama menggunakan akal dalam
penyelesaian persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam.
Perbedaan yang terdapat diantara mereka adalah perbedaan dalam derajat kekuatan
yanag diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah mempunyai pendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kuat dan sebaliknya Asy’ariah berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang lemah.
Kesemua
aliran-aliran yang ada berpegang kepada wahyu. Tapi dalam hal ini perbedaan-perbedaan
yang terdapat diantara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interprestasi
mengenai teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits. Hal ini tidak ubahnya dengan adanya
interprestasi maka lahirlah mazhab-mazhab yang dikenal seperti yang dikenal sekarang,
yaitu mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan mazahab Maliki.
Pada
hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap dalam
Islam. Dengan demi kian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran
teologi tersebut, yaitu aliran mana sesuai dengan jiwa dan pendapatnya.
KOMENTAR KRITIS
SARAN
·
Buku ini seharusnya memberi kesimpulan
dr setiab babnya agar tidak terjadinya kesalah pahaman.
·
Seharusnya buku ini menceritakan penuh
atau lengkap tentang aliran-aliran tersebut, baik dari sejarah, tokoh, ajaran
dan lain sebagainya.
·
Lebih bagus penulis buku ini melengkapi
aliran-aliran kecil yang yang belum tertulis dengan lebih lengkap karena dilihat
dari isi buku ini banyak menceriyakan aliran yang besar.
KRITIK
·
terlalu banyak menceritakan kaum
Mu’tazilah sedangkan aliran yang lain tidak selengkap Mu’tazilah
·
kurang lengkapnya keteranga-ketarangan
aliran yang lain yang belum terungakap dalam segi ajaran dan sejarahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar