Sabtu, 01 Juni 2013

laporan hasil bacaan buku Teologi Islam karya Harun Nasution



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era globalisasi dan majunya teknologi seperti saat ini membuat banyak generasi muda yang tidak gemar membaca mereka hanya mengandalkan yang instan-instan saja seperti selalu browsing ketika medapatkan tugas dari guru dan hanya mengadalkan guru dan diskusi kelas untuk belajarnya. Karena dikhawatirkanya ajaran yang salah dalam kebiasaan ini maka saya membuat laporan hasil bacaan ini agar para generasi muda gemar membaca dan dapat memahami isi pokok bacaan sesuai degan sumbernya.
B. Tujuan
Tujuan dari membuat laporan hasil bacaan ini adalah supaya saya bisa memahami isi pokok dari setiap bab dan bisa mengerti ajaran apa yang terkandung pada setiap bab agar saya juga bisa mengamalkan ajaran tersebut kepada orang lain dengan baik yang jelas sumber ajarannya.
C. Pentingnya Membuat Laporan
Sangat penting sekali membuat laporan seperti ini karena dengan cara seperti ini saya tidak akan lupa dan bisa terus mengingat lagi apa saja yang sudah saya baca. Selain itu, dengan membuat laporan seperti ini, saya menjadi tau inti dan poin penting dari setiap bab sekaligus dapat mempermudah dalam kegiatan belajar mengajar.
D. Manfaat dan Menariknya Membuat Laporan
Manfaat dari membuat laporan ini adalah kita menjadi pribadi yang mandiri karena kitalah yang mencari tau sendiri isi pokok yang terkandung pada buku ini. Dan kita juga tidak hanya mengandalkan apa yang telah kita dapat dari dosen atau dari hasil diskusi kelas, tapi kita perluas lagi dengan cara meringkas isi pokok dari setiap bab dan kita membuat menjadi laporan hasil bacaan seperti ini.

ALIRAN-ALIRAN DAN SEJARAH
BAB I
Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi Dalam Islam

Kematian khalifah Utsman ibn Affan secara tragis melalui tangan para perusuh telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffin, 2 tahun setelah Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan Utsman.
Perang besar antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan beberapa aliran pemikiran yang secara ekstrim selalu bertentangan yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah dan Jabariah. Selain itu ada beberapa aliran pula yang menentang ajaran-ajaran kaum mu’azilah yaitu Asy’ariyah dan Maturidiah.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah, Jabariah, Asy’ariyah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah dan Jabariah sekarang tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali terutama dikalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.



BAB II
Kaum Khawarij

Kaum Khawarij terdiri dari pengikut-pengikut Ali Ibn Talib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali Ibn Talib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyeleseikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Nama itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Kaum Khawarij terpecah belah menjadi beberapa golongan kecil yaitu:
1. Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan Al-Muhakkimah. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
2. Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah hancur.
3. Al-Najdat
Najdah Ibn Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan Al-Azariqah.
4. Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘ Ajrad yang menurut Al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari Atiah al-Hanafi.
5. Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan Al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim.
6. Al-Ibadiah  yaitu Golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij.
BAB III
Kaum Murji’ah

Golongan ini adalah golongan yang bersikap netral dalam peristiwa arbitrase yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah. Mereka tidak mau turut dalam praktik kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golonga Syi’ah yang pro Ali dan Khawarij yang kontra. Mereka mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya seseorang kepada Tuhan.
Pendapat mereka adalah orang yang berdosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Pendapat ini membawa kepada pendapat bahwa yang diutamakan sebenarnya adalah iman, sedang perbuatan hanya soal kedua.
Berlainan dengan kaum Khawarij yang menekankan kepada persoalan kufr, kaum ini menekankan kepada siapa orang yang masih mukmin dan belum keluar dari Islam. Pada umumnya, kaum Murji’ah terbagi atas dua golongan besar, moderat dan ekstrim.
Golongan Moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di neraka, tetapi akan di hukum di neraka sesuai dengan dosanya. Dalam golongan moderat ini termasuk Muhammad ‘Ibn Ali, Abu Hanifah, dan beberapa ahli hadist. Abu Hanifah memberi definisi iman: iman adalah pengakuan tentang Tuhan, Rasul-Nya dan segala apa yang dating dari Tuhan; iman tidak bertambah atau berkurang. Kesimpulan dari pendapat Abu Hanifah diatas, yaitu bahwa perbuatan atau amal kurang penting dibandingkan dengan iman.
Diantara golongan ekstrim yang dimaksud adalah al-Jahmiah, pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut mereka, orang Islam yang percaya Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah kafir, karena iman dan kufr tempatnya adalah di dalam hati. Ucapan dan perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah tetapi ajaran-ajaran mereka masuk ke dalam Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun Murji’ah ekstrim telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri.

BAB IV
Qadariah dan Jabariah

Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian manusia bahwa terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menetuikan kehendak dan perbuatannya. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
            Paham yang dibawa Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Menurut Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
            Perbuatan yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia, tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan tuhan dalam benda-benda mati. Menurut paham ekstrim ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Kalau paham fatalisme yang dibawa Jahm seperti diuraikan diatas merupak fatalisme dalam bentuk ekstrim, al-Syahrastani menyebut paham Jabariah lain yang bersifat moderat. Paham itu sendiri dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar. Tuhanlah, kata al-Najjar, yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,tetapi manusia mempunyai bagiandalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu.
            Menurut paham ini Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan-perbuatannya. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariah di anut oleh kaum Mu’tazilah sedang paham Jabariyah, sungguhpun tidak identik dengan paham yang dibawa Jahm Ibn Safwan atau dengan paham yang dibawa al-Najjar dan Dirar, terdapat dalam aliran al-Asy’ariah.
BAB V
Kaum Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis Islam.”
Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum Mu’tazilah berawal dari peristiwa yang terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana yang diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangai pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: ” Wasil menjuh diri dari kita (i’tazala’ ana).” Dengan demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Kata Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah”telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikain politik yang ada di zaman mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertam membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah, syeikh al-Mu’tazilah wa qadil muha,yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan al-Basri.

Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Ushul al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id,janji baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar, memrintahkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan. Adapun tokoh-tokoh lain dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani, Abu al-Huzail al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar.
Menurut al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah disebut di atas. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebai dikemukakan oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut.
Al-Tawhid, al-’Adl, al-Wa’adwa al-Wa’id, al-Manzilahbain al-Manzilatain dan al-’Amrbi al-Ma’rufwaalNahy ’an al-Munkar.
Demikianlah uraian sekedarnya tentang pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah, pendapat-pendapa tmereka dan ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.



BAB VI
Ahli Sunnah dan Jama’ah

Bertentangan dengan paham qadariah yang dianut kaum  mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan  kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi bahru dan diciptakan.
            Kaum mu’tazilah dalam sejarah memang merupakan golongan minoritas. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang teguh pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan mu’tazilah yang bersifat minoritas dantak kuat berpegang teguh pada sunnah. Bagaimana pun yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam dan dalam kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
2) . Aliran Maturidiah
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu mansur dan aliran Muturidiah tidak sebanyak literatur mengenai ajran-ajaran Asy’ariah. Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajran Mu’tazilah al-salah wa al-aslah, tetapi disamping itu Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
            Antara kedua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu  pengikut-pengikut Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham-apaham yang lebih dekat kepda paham mu’tazilah, golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari.
Aliran Maturidiah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mahzab Hanafi.

ANALISA DAN PERBANDINGAN
BAB VII
Akal dan Wahyu

            Teologi sebagai ilmu yang  membahas soal ketuhanan dan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadsap Tuhan,  meamkai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berfikir yang  ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dab wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
            Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dalam hubungan ini Abu al-Huzail denagn tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang demikian akan mendapat hukuman.
            Menurut al-Syahrastani kaum Mu’tazilah dalam satu pendapat bhawa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengajarkan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Dari aliran Asy’ariah, al-Asy’ari sendiri menolak bagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban  manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Menurut al-Baghdadi akal dapt mengetahui Tuhan, tetapi tidak mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan karena segala kewajiban dapat diketahui hanay melalui wahyu.
            Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian bagi al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedangkan yang satu lagi itu kewajiban berbuat baik dan mejauhi yang buruk dapat diektahui hanya melalui wahyu.
            Dengan demikian akal menurut paham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban., Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpujinya pengetahuan demikian tetapi juga kewajiban mengetahui Tuhan.
            Dapat kiranya disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberikan daya besar kepada akal. Maturidiah Samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah, tetapi lebih besar daripada Maturidiah Bukhara. Diantara aliran semua itu, Asy’ariahlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.



BAB VIII
Fungsi Wahyu

Pertanyaan apa tentang perlunya wahyu tentu banyak dihadapka kepada kaum Mu’tazilah. Sebagaimana telah disinggung di atas dalam system teologi mereka, wahyu tidak mempunya fungsi apa-apa dalam soal keempat masalah yang menjadi bahan kotroversi dalam teologi islam.
Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan semua yang buruk dapat diketahui akal. Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Kiranya dapat disimpulkan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi, dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum dikethui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.
Dalam pandangan kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, maka wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya.
Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk. Sedangkan dalam pendapat golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Lebih tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka sedangkan manusia dalam pandangan Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Di dalam aliran Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah. Dalam pada itu manusia dalam pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.

BAB IX
Free Will dan Predestination
           
Kaum Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah tentu menganut paham qadariah atau free will. Al-Jubba’i dan ‘Abd al-Jabbar menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Bagi Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Tuhan hanya menciptakan daya yang ada dalam diri manusia.
Argumen kaum Mu’tazilah tentang paham diatas yang dimajukan oleh ‘Abd al-Jabbar umpamanya, adalah “Manusia berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasih kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujuan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
Aliran Asy’ariah dalam hal ini lebih dekat ke paham jabariah daripada Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Berlainan sekali dengan kaum Mu’tazilah, kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri, sebagai ditegaskan oleh al-Asy’ari, adalah perbuatan tuhan bukan perbuatan manusia.
Bagi golongan Maturidiah perbuatan manusia adalah juga diciptakan Tuhan. Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukanpemakaiandaya, baikuntukkebaikanmaupunkejahatan. 
Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya trbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham qadariah bisa disalah artikan mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas sebebas-bebasnya dan dapat malawan kehendak dan kekuasaan Tuhan
BAB X
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat pada aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehenaak mutlak Tuhan.
Dalam menjelasakan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al- Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun, di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hokum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya.
Berlainan dengan paham Asy’ariah in, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifatmutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentuka kemauandan perbuatan.
Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Sedangkan dalam golongan Maturidi Samarkand, tidak sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.



BAB XI
Keadilan Tuhan

Kaum Mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Mereka berpendapat, manusia yang berakal sempurna, kalau berbuat sesuatu, mesti mempunyai tujuan. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan mawjud lain, selain Tuhan. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa tujuan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.
Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi yang sebaliknya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Tuhan berbuat semata-matakarena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain.
Kaum Maturidiah Bukhara mempunyai pendapat yang sama dengan Asy’ariah. Menurut Al-Bazdawi alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Kaum Maturidiah Samarkand, karena menganut paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.
Paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya berarti memberi upah kepada yang berbuat salah. Paham “Tuhan berkewajiban membuat apa yang terbaik bagi manusia” saja mengandung arti yang luas sekali, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat, dan sebagainya. Keadilah menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.
Kaum Asy’ariah memberikan interpretasi yang berlainan. Keadilan mereka artikan “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik”. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat kepada posisi kaum Asy’ariah dalam hubungan ini, sedangkan golongan Samarkand mengambil posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah.


BAB XII
Perbuatan-perbuatan Tuhan

I. Kewajiban-kewajibanTuhanterhadapManusia
Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan. Bagi kaum Asy’ariah, paham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan pahan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kaum Maturidiah golongan Bukhara sepaham dengan kaum Asy’ariah tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Golongan Samarkand, memberi batasan-batasan kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan dengan demikian menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
II. BerbuatBaikdanTerbaik (Al-salah wa al-aslah)
Term ini terkenal sebagai term Mu’tazilah, dan yang dimaksud adalah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia.
III. Beban di Luar Kemampuan Manusia (taklif ma la yutaq)
      Mu’tazilah tak dapat menerima paham ini karena bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Hal ini juga bertentangan dengan paham keadilan Tuhan menurut pendapat mereka.
      Kaum Asy’ariah, karena percaya pada kekuasaan mutlak tuhan dapat menerima paham ini. Sebagaimana pula kaum Maturidiah golongan Bukhara.
Sedangkan kaum Maturidiah golongan Samarkand tidak setuju dengan pendapat Asy’ariah tentang hal ini, karena al-Qur;an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipilkul.


IV. PengirimanRasul-rasul
Bagi kaum Mu’tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa akal dapat mengetahui hal-hal tentang alam gaib, pengiriman Rasul-rasul sebenarnya tidak begitu penting.
Pengiriman Rasul-rasul memiliki arti yang besar bagi kaum Asy’ariah, karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan. Pengiriman wahyu tidak bersifat wajib, hanya bersifat mungkin. Begitu pula pendapat Maturidiah golongan Bukhara.

V. Janji danAncaman
Sebagaimana diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Hal ini erat kaitannya dengan dasar kedua, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika Ia tidak menepati janji.
Bagi kaum Asy’ariah paham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan Hadis.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya. Sedangkan Maturidiah golongan Samarkand memiliki pendapat yang sama dengan Mu’tazilah, yaitu bahwa upah dan hukuman Tuhan tak boleh tidak mesti terjadi kelak.



BAB XIII
Sifat-sifat Tuhan

1. Sifat Tuhan pada Umumnya
Pertentangan paham antar kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan  mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Arti “Tuhan mengetahui” kata Abu Huzail, ialah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
Kelihatannya paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang mendorong kaum Asy’ariah memilih penyelesaian di atas. “Sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “Keadaan” mengandung arti berubah.
            Kaum Mu’tazilah, karena tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu, dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
2. Antropomorphisme
            Karena Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut paham ini. Kaum Asy’ariah juga tidak menerima antrhropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Argumen kaum Asy’ariah dalam hal ini agaknya adalah sebagai berikut. Manusia adalah lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interprestasi jauh tentang sifat-sifat jasmani Tuhan yang tersebut dalam al-Qur’an sedemikian rupa sehingga meniadakan sifat-sifat tersebut.
3. Melihat Tuhan
Logika mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah. Sebagai argumen, ‘Abd al-Jabbar, mengatakan bahwa Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Kaum Asy’ariah, sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.
4. Sabda Tuhan
Mengenai sabda Tuhan atau Kalam Allah atau tegasnya al-Qur’an persoalannya dalam teologi ialah: Kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal.



BAB XIV
Konsep Iman

Iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai benar. Bagi aliran-aliran ini iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. Menurut Abu al-Huzail bukanlah perintah wajib saja, tetapi juga yang sunat. Sedangkan menurut al-Jubba’i hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib saja. Sedangkan menurut al-Nazzam, iman adalah menjauhi dosa-dosa besar.
Bagi kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau amal. Manusai dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia. Oleh karena itu, iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dengan kaum Asy’ariah. Tetapi, bagi Maturidiah Samarkand,  iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariah dan aliran Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau amal.
 


KESIMPULAN

Dari uraian di atas, mulai dari bab kesatu sampai bab keempat belas dapat disimpulkan bahwa semua aliran teologi dalam Islam, baik dari golongan Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah semuanya sama-sama menggunakan akal dalam penyelesaian persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat diantara mereka adalah perbedaan dalam derajat kekuatan yanag diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah mempunyai pendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat dan sebaliknya Asy’ariah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Kesemua aliran-aliran yang ada berpegang kepada wahyu. Tapi dalam hal ini perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interprestasi mengenai teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits. Hal ini tidak ubahnya dengan adanya interprestasi maka lahirlah mazhab-mazhab yang dikenal seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan mazahab Maliki.
Pada hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demi kian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu aliran mana sesuai dengan jiwa dan pendapatnya.


KOMENTAR KRITIS

SARAN
·         Buku ini seharusnya memberi kesimpulan dr setiab babnya agar tidak terjadinya kesalah pahaman.
·         Seharusnya buku ini menceritakan penuh atau lengkap tentang aliran-aliran tersebut, baik dari sejarah, tokoh, ajaran dan lain sebagainya.
·         Lebih bagus penulis buku ini melengkapi aliran-aliran kecil yang yang belum tertulis dengan lebih lengkap karena dilihat dari isi buku ini banyak menceriyakan aliran yang besar.

KRITIK
·         terlalu banyak menceritakan kaum Mu’tazilah sedangkan aliran yang lain tidak selengkap Mu’tazilah
·         kurang lengkapnya keteranga-ketarangan aliran yang lain yang belum terungakap dalam segi ajaran dan sejarahnya

Berkata JUJUR Walau Pahit !!





Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika orang yang senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhori)

Kita sebagai hamba Allah harus berkata jujur yaitu keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.

Untuk berkata jujur memang terkadang sulit karena berkata jujur itu pait. Artinya tidak semua orang bisa menerima kenyataan dan bagi sebagian orang kenyataan itu bagai musibah. Kita harus menghilangkan perspektif yang menyimpang ini karena sesungguhnya berkata jujur akan membimbing kepada kebaikan dan kebaikan akan membimbing ke surga.

Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”